PEMBERANTASAN KORUPSI
MAKALAH PENGANTAR ILMU POLITIK
PROYEK TUGAS AKHIR
Oleh
:
EVI MERIANI
1113032020
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Bandar
Lampung
2011
DAFTAR
ISI
Daftar isi ………………………………………………………………………… i
Kata pengantar ………………………………………………………………… ii
Pendahuluan ………………………………………………………………… 1
Pembahasan
Asal Kata dan Pengertian Korupsi …………………………………………. 4
Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi
di Indonesia …………………………. 5
Dampak Tejadinya Korupsi di
Indonesia …………………………………. 6
Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia …………………………. 7
Lembaga Pemberantasan Korupsi ………………………………………… 9
Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Korupsi ………………………… 16
Upaya Pemerintahan dalam
Memberantas Korupsi di Indonesia ………… 18
Pentup
Kesimpulan ………………………………………………………………… 26
Daftar pusaka ………………………………………………………………… 27
Kata
Pengantar
Setiap
Negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan negaranya secara keseluruhan
demi tercapainya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera . untuk itu
komponen-komponen suatu negara terutama pemerintah selalu melakukan usaha-usaha
demi meratanya pembangunan bangsa dan negara itu sendiri . namun terkadang
segala sesuatu yang telah disusun dan direncanakan tidak selalu berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan . banyak sekali halangan dan rintangan dalam usaha
melakukan pembangunan bangsa dan negara . bahkan biasanya hambatan ini justru
datang dari petinggi-petinggi negara ini . salah satu masalah terbesar negara
ini yang dianggap hambatan yang paling susah diberantas adalah tindak pidana
korupsi . hal inilah yang merupakan masalah terbesar Negara ini . maraknya
tindak pidana korupsi di Indonesia seakan menjadi ”tren”
dikalangan orang-orang penting di Negara ini . korupsi tidak hanya dilakukan
sebagai ajang mencari tambahan penghasilan namun terkadang ada alasan-alasan
tertentu yang sulit diterima oleh masyarakat .
Korupsi
secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang begitu besar
terhadap kelangsungan kehidupan rakyat Indonesia . sebagian besar rakyat
Indonesia bahkan lebih dari separuhnya adalah rakyat “miskin” . sedangkan
oknum-oknum itu, seenaknya merampas hak rakyat .
Dalam
hal ini pemerintah bekerja keras mencari penyelesaian masalah ini . oleh karena
itu mulailah dibentuk lembaga-lembaga pemberantasan korupsi. Namun pada
kenyataanya hal ini belumlah cukup untuk menanggulangi tindak pidana korupsi .
yang dipertanyakan adalah mengapa hukuman para pelaku tindak pidana korupsi
yang seperti orang “tidak berpendidikan” ini jauh lebiih ringan dibanding
hukuman rakyat biasa yang sekedar mencuri ”ayam” .
Makalah
ini akan menjabarkan tentang pidana korupsi itu sendiri . apa itu korupsi, apa
penyebab terjadinya korupsi, bagaimana tindak pidana korupsi di Indonesia, dan
cara menaggulangi korupsi itu sendiri, serta bagaimna upaya pemerintah dalam
menanggulangi masalah korupsi di Indonesia .
Diharapkan
dari pembuatan makalah ini, kita akan lebih memahami masalah yang dianggap
masalah terbesar di Negara ini . disini juga akan dijelaskan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi . hal ini
merupakan salah satu bentuk usaha kecil untuk sosialisasi dalam hal “memberantas korupsi”
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia,
sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi,
terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai
saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan - peraturan,
antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti
korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling
monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi
dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan
dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri
berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan
badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan
pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet
peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan
sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi .
Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi .
Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya
penanganan
korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan negara/politik,
pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Selama ini yang telah dan
sedang dilakukan masih terkesan parsial, dimana korupsi masih dipandang sebagai
fenomena negara atau fenomena politik. Upaya pencegahan korupsi di Indonesia
juga harus dilakukan melalui upaya perbaikan totalitas system ketatanegaraan
dan penanaman nilai-nilai anti korupsi atau nilai sosial anti korupsi/Budaya
Anti Korupsi (BAK), baik di pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat daerah.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan = Korupsi.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan = Korupsi.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Pembangunan
seharusnya merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi negara,
terutama negara yang termasuk dalam kelompok negara berkembang, termasuk
Indonesia. Di negara berkembang yang melakukan pembangunan adalah pemerintah.
Pemerintah seharusnya mengarahkan pembangunan menjadi pemberdayaan masyarakat,
sehingga suatu saat masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan memenuhi
kebutuhan dan melindungi kepentingan sendiri. Ketidakberdayaan masyarakat
sering dijadikan alasan untuk membantu, bentuk dan jenis bantuan dijadikan
proyek, disini pula menjadi sumber korupsi.
Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu", dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan
Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu", dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan
internalisasi
yang sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan. Oleh karena
itu, kami memahami bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset
atau pola pikir, atau paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang
coba-coba dan akhirnya menjadi kebiasaan. Sosialisasi dan internalisasi nilai
anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur
pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga
nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional
dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan
yang adil makmur dan sejahtera.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan malakah ini
adalah untuk mensosialisasikan apa itu korupsi, dan bagaimana korupsi itu
terjadi di Indonesia, serta bagaimana upaya dalam pemberantasan masalah
terbesar Negara ini . diharapkan dari pembuatan makalah ini kita lebih mengerti
bagaimana upaya pemerintah dalam memerangi korupsi di negri ini . kita pun
dapat sedikit berpartisipasi memberantasi korupsi setelah kita mengerti dengan
jelas korupsi di Indonesia .
C. Rumusan Masalah
·
Asal Kata dan Pengertian Korupsi
·
Faktor
Pedorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
·
Dampak Negatif korupsi
·
Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia
·
Lembaga Pemberantasan Korupsi
·
Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Tindak Pidana Korupsi
·
Upaya Pemerintah dalam Memberantas
Korupsi di Indonesia
II.
PEMBAHASAN
a) Asal Kata dan Pengertian Korupsi
Korupsi berasal
dari bahasa Latin : corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok . Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus
politisi maupun
pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
Meskipun kata
corruption itu luas sekali artinya,namun sering corruptio dipersamakan artinya
dengan penyuapan seperti disebut dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977)
PP Pengganti UU
Nomor 24 Tahun 1960, mengartikan korupsi sebagai "tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain
yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau
masyarakat", dst.
Kemudian Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling
Corruption (1998), mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari
tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang
menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi".
Kemudian secara singkat Komberly Ann
Elliott dalam Corruption and The Global Economy menyajikan definisi
korupsi, yaitu "menyalahgunakan
jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi".
Menurut
pasal 25 (penghabisan) perpu nomor 24
tahun 1960 ini disebut peraturan pemberantasan korupsi diatas saya namakan undang
undang anti-korupsi
pasal , menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
pasal , menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
a) Tindaakan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian nergara atau daerah atau
merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah
atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran kelonggaran
dari Negara atau masyarakat
b) Perbuatan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan dilakukan dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan
c) Kejahatan-kejahatan
tercantum dalam pasal 17-21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210,415, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan 435, kitab undang undang hokum pidana
Dari sudut
pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum;
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang
lain, di antaranya:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan dalam jabatan;
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara
korupsi dan kriminalitas
kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah
hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai
contoh, pendanaan partai politik ada yang legal
di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
b) Faktor
Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
·
Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya
dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan
pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai
kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup
yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang
menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh
suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut
tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi
satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan,
orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian
kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol
dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh
Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of
three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa
" di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot
sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar
cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi
demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan
dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku
"Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
c) Dampak
negatif korupsi
-
Terhadap demokrasi
·
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan
umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di
pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban
hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam
pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari
pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat
diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan,
korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
-
Terhadap perekonomian
·
Korupsi juga mempersulit pembangunan
ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi.
Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari
pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan
risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana
korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan
"lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi
dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien.
·
Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi
pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
-
Terhadap kesejahteraan umum negara
·
Korupsi politis ada di banyak
negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis
berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi
adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya
mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.
d) Contoh
kasus tindak pidana korupsi di Indonesia
·
Soeharto
Kasus
Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh
yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera
Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut
ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan
jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak
kalangan.
·
Pertamina
Dugaan
korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT
Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur
minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara,
adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan
Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur
Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus
Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan
tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini
menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini
tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3
Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di
Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau
penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
Kasus
Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi
Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara
Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4
juta.
·
Korupsi di
BAPINDO
Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan
Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak
ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus
korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi
Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo
Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan
bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun.
Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$
243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP
Nusakambangan, Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi
dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang
diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal
dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai
sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.
·
Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika
Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000.
Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun
dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya
penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4
triliun.
Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap
bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya
yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga
tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini
sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20
dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke
pengadilan hanya enam kasus .
·
Abdullah
Puteh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini
menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik,
dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.
Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan
supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.
e) Lembaga
pemberantasan korupsi
- Sejarah lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di
masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang
pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang
Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).
Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor
M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan.
Mudah
ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi
keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara
langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi
langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir
tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya
kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada
1963,
melalui Keputusan
Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal
dengan Operasi Budhi.
Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke
pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada
masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967,
Soeharto
terang-terangan mengkritik Orde
Lama,
yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang
terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK), yang diketuai Jaksa Agung.
Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada
kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo,
dan A. Tjokroaminoto,
dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat
tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo
diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib
(Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan
pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top
down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin
melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era
Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.
Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru,
seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman
Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah
semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya
ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN,
dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke
dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
-
KPK di
bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan
Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator
(pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah
"good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di
Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun
konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak
hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana
korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang
pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi
dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang
bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
-
Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi,
atau disingkat menjadi KPK,
adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada
tahun 2003
untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi
di Indonesia.
Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat
ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta
Hamzah, Bibit Samad Rianto,
Mochammad Jasin,
dan Hayono Umar,
setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas
terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
- Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi
- Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang :
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
- Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi
K P K
(Berdasar Lampiran Peraturan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)
Nama-nama
anggota KPK
Contoh profil
anggota KPK :
Muhammad Busyro Muqoddas
Lahir di Yogyakarta, 17 Juli 1952, menamatkan pendidikan
sarjana hukum di Universitas Islam Indonesia, meraih gelar Magister Hukum dari
Universitas Gadjah Mada, dan menyelesaikan program S-3 Hukum di Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta.
Berbagai jabatan di bidang hukum telah dilakoni oleh Busjro,
mulai dari Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1983-1986), anggota Dewan Kode Etik
IKADIN Yogyakarta (1998-2000), anggota Dewan Etik ICM Yogyakarta (2000-2005).
Selain iu, Busyro dipercaya menjadi Ketua Komisi Yudisial mulai tahun 2005
sebelum akhirnya terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010.
Di lingkungan akademis, Busyro memiliki pengalaman menjadi
Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (1986-1988),
dilanjutkan sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
hingga 1990.
Bapak dari tiga anak ini pernah mengikuti Pelatihan
Investigasi Pelanggaran HAM Berat (2004) dan peserta pra-pelatihan
internasional dalam bidang Human Rights, Conflict Transformation and Peace
Promotion in Norwegia yang diselenggarakan oleh Dirjen Perlindungan HAM,
Departemen Hukum dan HAM RI bersama dengan Institute of Human Rights,
University of Oslo Norwegia, di Bogor (2004). Busyro yang memiliki hobi membaca
buku dan olahraga, pada 2008 meraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption
Award (BHACA).
Busyro terpilih menjadi Ketua KPK setelah melewati
serangkaian fit and proper test oleh Komisi III DPR RI pada 25 November 2010.
Menggantikan Ketua KPK Antasari Azhar, Busyro dilantik dan diambil sumpah oleh
Presiden RI pada 20 Desember 2010.
Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan KPK
:
- Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
- Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
f) Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi
Yang
kini menonjol adalah tiga unsur yaitu (a) memperkaya diri, (b) menyalahgunakan
jabatan atau kedudukan (c) merugikan keuangan atau perekonomian Negara .
Pasal 16 menentukan :
a) Barang
siapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam pasal 1 sub a dan b
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/ atau denda
setinggi tingginya satu juta rupiah
b) Segalaa
harta bendaa yang diperoleh dari korupsi dirampas
c) Si
terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi .
Pasal
17 membuat suatu tindak pidana baru yaitu : barang siapa memberi hadiah atau
janji kepada seseorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau
daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat dengan mengingat suatu
kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
yang oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
dan/atau denda setinggi-tinggiya satu juta rupiah .
Demikianlah
ditetapkan dalam pasal 5 ayat 3 ditagaskan oleh pasal 7 bahwa : perkara dalam
perkara korupsi ini jaksa berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat-surat
dan kiriman kiriman yang melalui jawatan pos, telegram, dan telepon, yang dapat
disangka mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang disidik
atau dituntut .
Dalam
study ini pendekatan yang dipakai ialah pendekatan normatif . norma-norma yang
ada dalam masyarakat bukan merupakan norma hukum saja, tetapi juga meliputi
norma agama, kebiasaan, dan kesusilaan sehingga pendekatan normatif ini pun
terlampau luas ruang lingkupnya . kadang-kadang norma norma yang lain itu
berjalan seiring dengan norma hukum . tetapi sering pula tidak sejalan . pendekatan ini disebut pendekatan normatif .
pendekatan normatif dalam arti sempit, yaitu pendekatan yang ditujukan kepada
norma hukum yang masih mempunyai beberapa jalur .
a) Jalur
Hukum Perdata
Kemungkinan
gugatan perdata terhadap para koruptor berupa ganti kerugian kepada Negara
sesuai pasal 1365 BW terutama terhadap koruptor yang telah meninggal dunia
. hal ini telah diatur dalam pasal 32,33, dan 34 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 yang merupakan perbaikan pengaturan dalam UU PTPK 1971 .
Andaikata
pun tidak diatur dalam UU PTPK 1999 tetap saja Negara (antara lain melalaui
kejaksaan) untuk menggugat perdata para koruptor .
b) Jalur
Hukum Administrasi
Dalam
keputusan presiden nomor 14 A Thun 1980, yang mengatur tentang tata
Cara
rekanan yang dan masalah komisi, diskon, dan sebagainya . hanya saja
Ketentuan
dalam Keeputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 ini perlu
dikaitkan
dengan sanksi, kalau perlu dengan sanksi administratif . sebelum
peraturan
ini, sebenarnya telah ada ICW (Inside Comtabiliteits Wet) 23 April
1864
stbl 1864 Nomor 106, stbl 1925, Nomor 445 ditambah dan diubah dengan LN
1954
Nomor 6, 1955 tentang Pengelolaan Keuangan Negara . begitu pula
dengan
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri .
c) jalur hukum pidana
Jalur
ini pun luas ruang lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu tidak
Berupa
korupsi material dan keuangan saja, tetapi juga merupakan korupsi
Politik,
korupsi ilmu, korupsi sastra, dan seni . di Amerika Serikat korupsi pilotik itu
justru
mendapat perhatian yang besar sekali, terutama karena terjadi
skandal
Watergate
di
Indonesia korupsi politik seperti ini di ancam dengan hukuman pidana
menurut
Undang-Undang tentang Pemiliihan Umum
(Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999)
di Malaysia, korupsi dalam pemilihan umum
(pemilihan raya) termasuk yang
disidik
oleh BPR (Badan Pemberantasan Rasuah)
nyatalah
bahwa perumusan ini termasuk dalam pengertiian korupsi politik
seperti
yang dimaksudkan di atas . korupsi ilmu sastra, seni pun diancam pidana
tercantum
dalam Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1982
yang di ubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987, kemudian oleh
Undang-Undang
No. 12 Tahun 1997)
Dalam
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya diatur tentang korupsi material dan
keuangan, ditambah dengan beberapa delik jabatan dan delik lain yang ada
kaitanyya dengan penyesuaian perkara korupsi .
Jelaslah
bahwa delik yang tercantum dalam UU PTPK itu sebagai ius constitutum dirasakan
masih terlalu sempit . masih banyak perbuatan yang dirasakan seharusnya
dipidana (ius constituendum) tidak tercakup di dalamnya . secara sosiologis,
nepotisme (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintah tanpa memenuhi
persyaratan untuk itu) dipandang sangat buruk dan merugikan masyarakat, tetapi
tidak termasuk sebagai delik korupsi . Syied Hussein Alatas membagi klasifikasi
jenis korupsi Dallam tiga kelompok : (a) paksaan pengeluaran uang, (b) sogokan,
(c) nepotisme .
Sekarang
telah ada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupai, Kolusi, Nepotisme (LN Nomor 3851), tetapi
rumusan deliknya tidak ada sehingga sulit jaksa membuat surat dakwaan . ada
sanksi, tetapi tidak ada rumusan delik (definisi delik) . tidak ada definisi
delik dalam rumusan . bagaimana membuktikan seseorang telah melakukan nepotisme
. memang tidak ada Negara yang membuat rumusan delik tentang nepotisme karena
itu lebih berada dalam ruang lingkup sosial . (social issue, not legal issue) .
g) Upaya
Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi di Indonesi
-
Strategi Pemberantasan Korupsi
bertambah
besar volume pembangunan maka semakin besar pula kemungkinan kebocoran .
ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim di Negara-negara
berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menggunakkan kekuasaanya untuk menambah
penghasilanya.
Memang
terjadi korupsi yang besar-besaran bagi mereka yang telah memperoleh pendapatan
yang memadai disebabkan karena sifatnya yang serakah, tetapi ini bukan hal yang
menyeluruh .
Guner
Myrdal berpendapat bahwa jalan untuk memberantas korupsi ialah sebagai berikut
:
(a) Menaikkan
gaji pegawai rendah (dan menengah)
(b) Menaikkan
moral pegawai tinggi
(c) Legalisasi
pemungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal
Sudah
jelas bahwa kalangan elite kekuasaan harus member keteladanan bagi yang dibawah
. untuk mencegah korupsi besar-besaran, bagi penjabat yang menduduki jabatan
yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan Negara,
penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus didaftar kekayaannya sebelum
menjabat jabatanya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya
dibandingkan dengan pendapatan yang resmi .
Artinya
pegawai negeri atau penjabat yang tidak dapat membuktikan kekayaanya yang tidak
seimbang debnga pendapatannyya yang resmi dapat digugat langsung secara perdata
oleh penuntu umum berdasarkan perbuatan melanggar hukum . dengan demikian,
harus ada sistem pendaftaran kekayaan penjabat sebelum dan sesudah menjabat
sehingga dapat dihitung pertambahan kekayaan itu .
Penuntutan
pidana hanya mempunyai fungsi sebagai obat yang terakhir . jelas korupsi tidak akan terberantas hanya
dengan penjatuhan pidana yang berat saja, tanpa suatu prevensi yang lebih
efektif .
Dengan
pidana mati pun seperti di RRC ternyata tidak menghapus korupsi . satu hal yang
sering dilipakan kurang diperhatikannya peningkatan kesadaran hukum rakyat .
selalu penegak hukum saja yang diancam dengan tindakan keras, tetapi jika
rakyatnya senidiri menoleransi korupsi, yang setiap kali memerlukan layanan selalau
menyediakan amplop, dan setiap kena perkara langsung mencari siapa penyidik,
penuntut, atau hakimnya untuk disogok, lingkaran setan korupsi tidak akan
terberantas .
Di
Negara Negara Afrika Bagian Selatan dirumuskan strsategi pemberantasan korupsi
berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan), sedangkan
pada kedua sisinya masing masing pendidikan masyarakat (public education) dan
pemidanaan (punishment)
Dalam
memberantas korupsi harus dicari penyebabnya terlebih dahulu, kemudian penyebab
itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul dengan pendidikan (peningkatan
kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan tindakan represif (pemidanaa)
.
-
Kebijakan pemerintah dalam memberantas
korupsi harus didukung seluruh warga
Kebijakan pemerintah dalam
memberantas korupsi yang sangat serius merupakan bagian dari upaya dalam
merealisasikan good governance dan clean government yaitu sistem pemerintahan
yang bersih dan berwibawa. Program itu harus didukung dan dijabarkan oleh
seluruh warga Departemen Pertahanan sesuai fungsi, tugas dan kewenangan
masing-masing.
Seluruh warga, khususnya para pejabat untuk bekerja lebih keras dan lebih cermat sesuai aturan yang telah ditetapkan serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Lebih lanjut, ketidakcermatan dalam melaksanakan tugas bukan saja akan mengganggu tertibnya tatanan dan orientasi organisasi serta menghambat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Tetapi hal itu juga dapat merusak moral, sikap dan disiplin yang sekaligus merusak citra lembaga
Untuk itu, hal yang perlu
ditekankan disini untuk dipedomani dan dilaksanakan, antara lain : pertama,
melaksanakan tugas sesuai fungsi, kewenangan serta aturan-aturan yang telah
digariskan. Kedua, sinergi, disiplin, dan motivasi untuk memberikan yang
terbaik. Ketiga, jangan mudah tergoda mengambil jalan pintas yang dapat
mengarah pada hal-hal yang berpotensi merugikan, baik secara perorangan
maupun kelembagaan.
|
-
Upaya pemberantasan korupsi seiring
kemajuan teknologi dan komunikasi
Dalam pemberantasan
korupsi terkandung makna penindakan dan pencegahan korupsi, serta ruang untuk
peran serta masyarakat yang seharusnya dapat lebih ditingkatkan dengan adanya
perbaikan akses masyarakat terhadap informasi. Teknologi informasi dapat
dimanfaatkan untuk perbaikan pelayanan publik sebagai salah satu cara melakukan
pencegahan korupsi. Sedangkan di sisi penindakan, (tanpa bermaksud
mengesampingkan pro kontra yang terjadi) undang-undang memberi ruang bagi para
penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk mendapatkan dan menggunakan informasi elektronik guna memperkuat
pembuktian kasus korupsi. Saat ini kita tengah menanti kehadiran Peraturan
Pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut intersepsi dalam rangka penegakan
hukum, sesuai amanah undang-undang.
Dari survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008, didapati bahwa belum terlalu banyak orang yang tahu bahwa tugas dan wewenang yang diamanahkan kepada KPK bukan hanya tugas yang terkait dengan penanganan kasus korupsi dan penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, karena sekalipun telah banyak yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan pencegahan korupsi dan dalam mengkaji sistem administrasi lembaga negara/pemerintah yang berpotensi korupsi, kegiatan-kegiatan itu menurut kalangan pers kalah nilai jualnya jika dibandingkan dengan liputan atas penindakan korupsi.
Dari survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008, didapati bahwa belum terlalu banyak orang yang tahu bahwa tugas dan wewenang yang diamanahkan kepada KPK bukan hanya tugas yang terkait dengan penanganan kasus korupsi dan penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, karena sekalipun telah banyak yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan pencegahan korupsi dan dalam mengkaji sistem administrasi lembaga negara/pemerintah yang berpotensi korupsi, kegiatan-kegiatan itu menurut kalangan pers kalah nilai jualnya jika dibandingkan dengan liputan atas penindakan korupsi.
Pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Karenanya ada tiga hal yang perlu
digarisbawahi yaitu ‘mencegah’, ‘memberantas’ dalam arti menindak pelaku
korupsi, dan ‘peran serta masyarakat’.
Kemajuan teknologi
informasi sudah banyak membantu KPK dalam melakukan tugas-tugasnya. Dari mulai
gedung KPK yang dirancang sebagai smart building, paper-less
information system yang diberlakukan sebagai mekanisme komunikasi internal
di KPK, dan program-program kampanye serta pendidikan antikorupsi KPK. Dalam
meningkatkan peran serta masyarakat, informasi elektronik sangat dibutuhkan
agar informasi yang disampaikan dapat lebih cepat diterima, lebih luas
sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya. KPK juga telah mengadakan berbagai
lomba bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat yang antara lain berupa lomba PSA
antikorupsi, lomba film pendek antikorupsi, lomba poster, dan lomba-lomba lainnya.
-
Penggunaaan teknologi informasi dalam
memperkuat pembuktian kasus korupsi
Penegak
hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi kewenangan melakukan penyadapan. Dan
tidak seperti yang dipersepsikan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa
sekehendak hatinya menggunakan instrumen yang sensitif ini.
Bagi
KPK, penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada surat tugas yang
ditandatangani Pimpinan KPK yang menganut kepemimpinan kolektif di antara lima
komisionernya. Sedangkan keputusan untuk melakukan penyadapan didasarkan pada
kebutuhan untuk memperkuat alat bukti dalam kegiatan penyelidikan. Penyelidikan
itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan keterangan
dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Dengan demikian,
penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan
bukti adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk melakukannya
bukanlah keputusan yang mudah.
Dalam
melakukan penyadapan sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 26 UU No.
31/1999 jo UU No. 20/2001 serta pasal 12 butir a UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tunduk pada Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi. Karena itu KPK tidak menganggap lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagai ancaman, karena penyadapan yang selama ini dilakukan merupakan lawfull
interception, sesuai aturan yang ada dan dilakukan dengan tanggung jawab,
profesionalisme, dan kehati-hatian ekstra.
KPK
tidak pernah menyebarluaskan hasil sadapan, kecuali sebagai pembuktian di
sidang pengadilan, yang diperdengarkan atas perintah hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Kesimpangsiuran informasi terjadi, ketika salah satu stasiun
televisi swasta menayangkan program yang memuat upaya penindakan KPK lengkap
dengan pemutaran rekaman hasil penyadapan yang dilakukan KPK.
Terkait
dengan banyaknya tayangan dalam program tersebut yang menampilkan para
terperiksa, terdakwa, dan terpidana kasus-kasus yang ditangani KPK,
ada
sebagian masyarakat yang menduga ada andil KPK di dalamnya. Sebagai catatan,
gambar-gambar dan rekaman yang ditampilkan tersebut diambil dari ruang
persidangan atau di halaman dan lobby tamu KPK yang merupakan ruang publik.
Parahnya lagi bukan hanya masyarakat awam hukum yang berpendapat demikian.
Dalam satu kesempatan talk show di salah satu universitas di
Yogyakarta medio September 2008 ini, seorang doktor hukumpun menyatakan bahwa
KPK telah melanggar hak asasi manusia para terdakwa kasus tindak pidana korupsi
karena memperdengarkan secara terus-menerus rekaman pembicaraan dengan tujuan
sebagai hukuman asesoris yang diberikan untuk mempermalukan mereka.
Selama ini, KPK berusaha melaksanakan tugas yang
diamanahkan oleh undang-undang dengan semaksimal mungkin memanfaatkan
kewenangan yang ada. Karena itu Undang Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik akan kami cermati sebagai salah satu aturan yang harus ditaati dan
dilaksanakan.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang tentang KPK
disebutkan bahwa : “……..Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,
dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa”.
Kalimat di atas bisa jadi merupakan salah satu
alasan undang-undang ini mengatur kembali pemberian kewenangan penyadapan
kepada KPK, sekalipun kewenangan yang sama telah diberikan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang dimungkinkannya alat bukti petunjuk
berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dari keinginan rakyat yang diterjemahkan dalam
undang-undang yang menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa,
seharusnya membawa implikasi pada penanganan korupsi dengan cara-cara yang luar
biasa pula – sekalipun tetap dalam koridor aturan hukum yang berlaku. Terkait
dengan kontroversi penyadapan dalam penindakan korupsi kita dapat mengambil
penyadapan atas kasus terorisme sebagai pembanding.
POLRI telah lama melakukan penyadapan
untuk kasus terorisme dan tidak pernah ada yang mempermasalahkannya. Besar
kemungkinan karena kita sudah memahami bahaya terorisme.
Hal ini menjadi tantangan bagi KPK
untuk lebih giat menyampaikan betapa seriusnya implikasi dari korupsi ini.
Betapa besar ongkos sosial korupsi yang harus dibayar seluruh rakyat Indonesia.
Ketika seorang Penyelenggara Negara
menerima suap, uang suap itu masih bisa berperan dalam memutar roda
perekonomian negara, sebagian bisa digunakan untuk membantu orang lain, atau
bahkan disumbangkan ke lembaga keagamaan.
Namun yang selama ini kurang kita sadari -
kerusakan sudah terjadi, ketika seseorang dibiarkan melanggar aturan yang
ditetapkan dengan tujuan-tujuan tertentu - karena dia telah menyuap, entah itu
membabat hutan, memasukkan barang ilegal, menjual obat palsu, atau ribuan jenis
lain pelanggaran yang pada akhirnya akan bermuara pada kesengsaraan rakyat
Indonesia.
Mengingat itu semua, masih bisakah
kita dengan percaya diri mengatakan bahwa bukan perilaku koruptif kitalah yang
menyebabkan rakyat di bumi yang kaya raya ini harus berdiri berjam-jam sekedar
untuk mendapatkan sembako atau uang sekedarnya? Alangkah tidak sepadan jika
boleh kita membandingkan antara uang suap yang berpindah tangan itu dengan
ongkos dan azab yang harus ditanggung (oleh orang lain, saudara kita sendiri).
Sebagai penutup, Undang-Undang ITE
mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara intersepsi
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Para penegak hukum termasuk
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tentu saja berkepentingan dengan pengaturan dalam
Peraturan Pemerintah tersebut. Karenanya keterlibatan mereka dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin profesionalisme, tanggung
jawab, dan asas keadilan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil intersepsi.
-
Kinerja pemerintah dalam pemberantasan
korupsi belum maksimal
Kinerja pemerintah dalam
pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun terakhir,
masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan
korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh
dari ekspektasi publik.
Tidak sedikit kebijakan pemerintah
yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri. Lihat saja
dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang
dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs
Polri, terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum (FH) UGM .
selain adanya upaya melemahkan KPK
oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas kebijakan pemerintah
dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir. Pertama,
kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara lain,
Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No.
11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006
tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres
No. 11 Tahun 2005, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan
korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih
meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru
merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya PP
tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD,
menjadi semakin besar. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang
anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti
lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen
pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang
perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus
korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien
Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam
konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya
dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.
Ditambahkan oleh Eddy O.S. Hiariej, staf pengajar
FH UGM yang juga anggota Pukat, bahwa dari keseluruhan hal tersebut seolah-olah
menjadi antitesis terkait dengan keseriusan pemerintah dalam mendukung gerakan
anti korupsi. Jargon-jargon yang selama ini diserukan tampaknya masih jauh dari
implementasi .
-
Menimbang keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi
Di
negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sulit untuk
diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, menjadikan
penyebaran korupsi semakin meluas dan sistemik. Korupsi yang meluas dengan
gampang dapat kita jumpai pada hampir seluruh kantor pelayanan publik. Korupsi
menjadi bagian dari sistem pengelolaan negara. Celakanya, korupsi kerap
melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Ketua DPR misalnya, adalah seorang
terpidana yang entah mengapa tidak perlu mendekam di penjara seperti terpidana
lainnya. Bisa jadi, Akbar Tanjung si terpidana itu bisa menyeret pejabat
lainnya ke penjara kalau dirinya harus menginap di hotel prodeo.
Dari
sisi hukum, aparat penegak hukum juga tampak letoi ketika berhadapan dengan
korupsi. Kalau menghadapi teroris macam Amrozi, Imam Samudera, dan lain
sebagainya, dengan sigap polisi bertindak. Kejaksaan pun, dengan proses yang
sangat cepat, mampu menyeret para terdakwa ke hadapan hakim di persidangan.
Tetapi, sama seperti politisi, ketika menangani kasus korupsi ada banyak alasan
sehingga berkas perkara mesti bolak-balik dikembalikan ke polisi, bukti tidak
mendukung, atau keluar SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kalau tidak
dituntut bebas.
Macetnya
hukum dalam penanganan kasus korupsi bisa dimengerti dengan melihat korupsi
sebagai fenomena sosiologis. Dalam kaca mata sosiologis, korupsi melibatkan
jaringan elit kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Karena
itu, bercokolnya Ketua DPR dari jerat hukum bisa dibaca sebagai upaya
melindungi elit lain. Juga mengapa Jaksa Agung yang jelas-jelas dilaporkan ke
polisi oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN)
karena
laporan palsu masih duduk di kursinya. Oleh sebab itu, korupsi dianggap sebagai
kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Untuk memberantasnya,
dibutuhkan pendekatan hukum yang luar biasa pula.
KPK,
Komisi Super?
Salah satu produk hukum yang digulirkan untuk memberantas korupsi adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK. Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2001. UU Anti Korupsi itu merupakan amandemen dari UU No.3 Tahun 1971 tentang Anti Korupsi yang dianggap sudah tidak memadai lagi.
Salah satu produk hukum yang digulirkan untuk memberantas korupsi adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK. Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2001. UU Anti Korupsi itu merupakan amandemen dari UU No.3 Tahun 1971 tentang Anti Korupsi yang dianggap sudah tidak memadai lagi.
Karena
korupsi adalah extra ordinary crime, maka ada beberapa kewenangan luar biasa
yang dimiliki oleh KPK. Diantaranya, pertama dipergunakannya alat bukti
elektronik dalam pembuktian. Alat bukti elektronik meliputi e-mail, rekaman
suara, rekaman video dan sebagainya. Bandingkan dengan KUHAP yang hanya
mengakui kesaksian langsung dari seseorang.
Kedua,
KPK memiliki kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Bahkan KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani oleh
kejaksaan atau kepolisian. Sebagai kejahatan yang luar biasa, korupsi memang
tidak bisa ditangani oleh aparatus negara konvensional seperti kejaksaan dan
kepolisian. Apalagi dalam kurun waktu yang lama terbukti dua institusi penegak
hukum itu gagal memberantas korupsi.
Ketiga,
berbeda dengan kejahatan lain, persidangan kasus korupsi juga dilakukan dengan
cara di luar kelaziman. Kelak kalau KPK telah berfungsi, koruptor akan diadili
dalam Pengadilan Korupsi. Hakim yang mengadili, baik di tingkat pertama
(Pengadilan Negeri), banding (Pengadilan Tinggi) maupun kasasi (MA) terdiri
dari lima orang, dua hakim reguler sedangkan tiga sisanya adalah hakim ad hoc.
Keempat,
KPK tidak hanya bertugas pada ranah penegakan hukum. KPK juga melakukan tugas
pencegahan, seperti memeriksa laporan kekayaan pejabat negara. Dengan berfungsinya
KPK, maka KPKPN akan dibubarkan dan akan menjadi salah satu divisi dalam KPK.
Dengan demikian, kasus laporan palsu kekayaan Jaksa Agung tidak akan terulang
lagi karena berbeda dengan KPKPN, KPK bisa langsung menyidik dan menyeret Jaksa
Agung ke Pengadilan Korupsi.
Karena
begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh KPK, banyak pihak berharap KPK
akan menjadi obat ampuh untuk menyembuhkan negeri ini dari korupsi. Apalagi
anggota KPK hanya lima orang sehingga bisa mengurangi benturan kepentingan.
Berdasarkan
pengalaman Komnas HAM dan KPKN, jumlah anggota yang besar menjadikan kedua
komisi itu tidak bisa lincah dalam mengambil keputusan. Belum lagi komposisi
anggota yang berwarna-warni latar belakangnya, menjadikan gerakan kedua komisi
semakin lamban karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi.
Akan
tetapi, kekuasaan besar KPK juga tidak lepas dari ancaman dari para koruptor
dan elit politik yang tidak berkepentingan. Sejak awal sebetulnya proses
pembentukan komisi super ini kerap tersendat-sendat.
Proses
pembentukan KPK sendiri harus melalui berbagai tahapan yang cukup panjang.
Pertama diawali dengan pembentukan tim seleksi. Anggota Tim Seleksi dipilih
oleh Menteri Kehakiman dan HAM dan ditetapkan oleh Presiden dengan Keppres.
Selanjutnya Tim Seleksi yang akan memilik kandidat anggota KPK sebanyak 10
orang atau dua kali jabatan yang tersedia.
Tugas
memilih siapa anggota komisi yang akan menjadi musuh koruptor nomor satu adalah
DPR. Tim Seleksi akan memberikan 10 nama ke DPR yang akan memilih lima
diantaranya sebagai anggota KPK. Lalu anggota KPK akan diangkat oleh Presiden.
Sedangkan
waktu yang dibutuhkan untuk membentuk KPK sekitar 185 hari atau 6 bulan 5 hari.
Perkiraan ini adalah perkiraan optimis, artinya proses pembentukan berjalan lancar
dan tidak ada kejadian penting di luar perkiraan yang bisa menggagalkan proses
tersebut. Tenggat waktu yang diberikan oleh UU No.30 Tahun 2002 adalah satu
tahun. UU No. 30 disahkan tanggal 27 Desember 2002 sehingga KPK harus sudah
terbentuk 27 Desember 2003.
III.
PENUTUP
a) Kesimpulan
Tindakan seseorang yang dengan atau karena
melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian Negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu
badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau
badan hukum lain yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
Negara atau masyarakat .
korupsi membawa banyak sekali pengaruh negatif yang
berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat, antara lain dampaknya
terhadap demokrasi, terhadap perekonomian negara, dan tentu saja terhadap
kesejahteraan umum negri ini . banyak sekali contoh-contoh kasus tindak pidana
korupsi yang terjadi di Indonesia . korupsi di Indonesia
difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang melakukan
pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan
yang ada.
Sebagai
fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan
oleh negara atau pemerintah. Setiap tindak pidana korupsi baik dalam bentuk
penyogok atau sebagai penerima sogok akan dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang tindak pidana korupsi .
Sejauh
ini pemerintah terus melakukan upaya dalam memberantas korupsi . salah satunya
adalah dengan membentuk lembaga pemberantasan korupsi yang saat ini dikenal
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .
selain itu pemerintah juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi sebagai alat dalam membantu upaya pemberantasan korupsi di negri
ini
. namun hal ini tidak akan sempurna tanpa adanya dukungan dari komponen utama
dan terbesar yaitu masyarakat umum .
Untuk
itu sebenarnya usaha yang paling efektif untuk memerngi korupsi di Indonesia
adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat umum . Selain
itu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) akan meminimalisir
trejadinya tindak pidana korupsi .
Hukum
yang tegas juga diperlukan untuk menjerat para ”tikus berdasi “ini yang
mencuri hak rakyat .
Kombinasi
antara semua aspek yang telah disebutkan di atas adalah upaya sempurna dalam
memerangi masalah korupsi di indonesia .
Daftar Pustaka
Hamzah
jur andi,(2005), pemberantasan korupsi,
Jakarta,PT Raja Grafindo Persada
Dikoro
wirdjono projo,(2005),tindak pidana
tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja Grafindo Pesada
Komisi Pemberantasan Korupsi
(2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008.
hay, nama saya try, salam kenal,.
BalasHapustrimakasih sudah berbagi ilmu,.. artikelnya sangat bermanfaat..
kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah. Saya juga punya pembahasan mengenai politik., kalau berminat silahkan lihat Makalah Politik Pendidikan . siapa tahu bisa bermanfaat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskeren kakak,
BalasHapusjangan lupa berkunjung juga ya :
https://diyusjay.blogspot.co.id/2017/10/maju-diam-atau-mundur.html
sebagai referensi untuk makalah juga