Jumat, 29 Juni 2012

evi meriani makalah pemberantasan korupsi


PEMBERANTASAN KORUPSI
MAKALAH PENGANTAR ILMU POLITIK
PROYEK TUGAS AKHIR


Oleh :

EVI MERIANI
1113032020




FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Bandar Lampung
2011



DAFTAR ISI
Daftar isi   …………………………………………………………………………        i
Kata pengantar      …………………………………………………………………        ii
Pendahuluan         …………………………………………………………………        1
Pembahasan
Asal Kata dan Pengertian Korupsi     ………………………………………….       4
Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia  ………………………….       5
Dampak Tejadinya Korupsi di Indonesia       ………………………………….       6
Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia  ………………………….       7
Lembaga Pemberantasan Korupsi       …………………………………………        9
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Korupsi     …………………………        16
Upaya Pemerintahan dalam Memberantas Korupsi di Indonesia       …………        18
Pentup
            Kesimpulan     …………………………………………………………………        26
      Daftar pusaka        …………………………………………………………………        27










Kata Pengantar
Setiap Negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan negaranya secara keseluruhan demi tercapainya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera . untuk itu komponen-komponen suatu negara terutama pemerintah selalu melakukan usaha-usaha demi meratanya pembangunan bangsa dan negara itu sendiri . namun terkadang segala sesuatu yang telah disusun dan direncanakan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan . banyak sekali halangan dan rintangan dalam usaha melakukan pembangunan bangsa dan negara . bahkan biasanya hambatan ini justru datang dari petinggi-petinggi negara ini . salah satu masalah terbesar negara ini yang dianggap hambatan yang paling susah diberantas adalah tindak pidana korupsi . hal inilah yang merupakan masalah terbesar Negara ini . maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia seakan menjadi  ”tren” dikalangan orang-orang penting di Negara ini . korupsi tidak hanya dilakukan sebagai ajang mencari tambahan penghasilan namun terkadang ada alasan-alasan tertentu yang sulit diterima oleh masyarakat .
Korupsi secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang begitu besar terhadap kelangsungan kehidupan rakyat Indonesia . sebagian besar rakyat Indonesia bahkan lebih dari separuhnya adalah rakyat “miskin” . sedangkan oknum-oknum itu, seenaknya merampas hak rakyat .
Dalam hal ini pemerintah bekerja keras mencari penyelesaian masalah ini . oleh karena itu mulailah dibentuk lembaga-lembaga pemberantasan korupsi. Namun pada kenyataanya hal ini belumlah cukup untuk menanggulangi tindak pidana korupsi . yang dipertanyakan adalah mengapa hukuman para pelaku tindak pidana korupsi yang seperti orang “tidak berpendidikan” ini jauh lebiih ringan dibanding hukuman rakyat biasa yang sekedar mencuri ”ayam” .
Makalah ini akan menjabarkan tentang pidana korupsi itu sendiri . apa itu korupsi, apa penyebab terjadinya korupsi, bagaimana tindak pidana korupsi di Indonesia, dan cara menaggulangi korupsi itu sendiri, serta bagaimna upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah korupsi di Indonesia .
Diharapkan dari pembuatan makalah ini, kita akan lebih memahami masalah yang dianggap masalah terbesar di Negara ini . disini juga akan dijelaskan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi . hal ini merupakan salah satu bentuk usaha kecil untuk sosialisasi dalam hal “memberantas korupsi






                                                                                                                                                       I.            PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia, sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan - peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.

Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur.

Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi .
Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya
penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Selama ini yang telah dan sedang dilakukan masih terkesan parsial, dimana korupsi masih dipandang sebagai fenomena negara atau fenomena politik. Upaya pencegahan korupsi di Indonesia juga harus dilakukan melalui upaya perbaikan totalitas system ketatanegaraan dan penanaman nilai-nilai anti korupsi atau nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK), baik di pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat daerah.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan = Korupsi.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Pembangunan seharusnya merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi negara, terutama negara yang termasuk dalam kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia. Di negara berkembang yang melakukan pembangunan adalah pemerintah. Pemerintah seharusnya mengarahkan pembangunan menjadi pemberdayaan masyarakat, sehingga suatu saat masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan sendiri. Ketidakberdayaan masyarakat sering dijadikan alasan untuk membantu, bentuk dan jenis bantuan dijadikan proyek, disini pula menjadi sumber korupsi.

Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu", dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan
internalisasi yang sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan. Oleh karena itu, kami memahami bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset atau pola pikir, atau paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang coba-coba dan akhirnya menjadi kebiasaan. Sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.


B.     Tujuan
Tujuan dari pembuatan malakah ini adalah untuk mensosialisasikan apa itu korupsi, dan bagaimana korupsi itu terjadi di Indonesia, serta bagaimana upaya dalam pemberantasan masalah terbesar Negara ini . diharapkan dari pembuatan makalah ini kita lebih mengerti bagaimana upaya pemerintah dalam memerangi korupsi di negri ini . kita pun dapat sedikit berpartisipasi memberantasi korupsi setelah kita mengerti dengan jelas korupsi di Indonesia .

C.     Rumusan Masalah

·         Asal Kata dan Pengertian Korupsi
·         Faktor  Pedorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
·         Dampak Negatif korupsi
·         Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
·         Lembaga Pemberantasan Korupsi
·         Peraturan Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana  Korupsi
·         Upaya Pemerintah dalam Memberantas Korupsi di Indonesia









                                                                                                                                                       II.            PEMBAHASAN

a)      Asal Kata dan Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok . Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Meskipun kata corruption itu luas sekali artinya,namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan seperti disebut dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977)
PP Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960, mengartikan korupsi sebagai "tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat", dst.
Kemudian Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1998), mendefinisikan korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Kemudian secara singkat Komberly Ann Elliott dalam Corruption and The Global Economy menyajikan definisi korupsi, yaitu "menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi".

Menurut pasal  25 (penghabisan) perpu nomor 24 tahun 1960 ini disebut peraturan pemberantasan korupsi diatas saya namakan undang undang anti-korupsi
pasal , menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
a)      Tindaakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian nergara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran kelonggaran dari Negara atau masyarakat
b)      Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan
c)      Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17-21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210,415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435, kitab undang undang hokum pidana

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
b)      Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
  • Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
  • Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
·         Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
  • Lemahnya ketertiban hukum.
  • Lemahnya profesi hukum.
  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).  Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
  • Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
  • Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
c)      Dampak negatif korupsi
-          Terhadap demokrasi
·         Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.



-          Terhadap perekonomian
·         Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
·         Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
·         Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

-          Terhadap kesejahteraan umum negara
·         Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

d)     Contoh kasus tindak pidana korupsi di Indonesia
·         Soeharto
Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.



·         Pertamina
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
·         Korupsi di BAPINDO
Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.



·         Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus .

·         Abdullah Puteh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.
Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.

e)      Lembaga pemberantasan korupsi

-          Sejarah lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia

Orde Lama

Kabinet Djuanda

Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama
Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.


-          KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.


Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai
IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan
partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.










-          Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi

Misi
  • Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi
  • Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
  1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
  2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
  4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
  5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi


K P K
(Berdasar Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)




Nama-nama anggota KPK



Contoh profil anggota KPK :



Muhammad Busyro Muqoddas
Lahir di Yogyakarta, 17 Juli 1952, menamatkan pendidikan sarjana hukum di Universitas Islam Indonesia, meraih gelar Magister Hukum dari Universitas Gadjah Mada, dan menyelesaikan program S-3 Hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Berbagai jabatan di bidang hukum telah dilakoni oleh Busjro, mulai dari Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1983-1986), anggota Dewan Kode Etik IKADIN Yogyakarta (1998-2000), anggota Dewan Etik ICM Yogyakarta (2000-2005). Selain iu, Busyro dipercaya menjadi Ketua Komisi Yudisial mulai tahun 2005 sebelum akhirnya terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010.
Di lingkungan akademis, Busyro memiliki pengalaman menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (1986-1988), dilanjutkan sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia hingga 1990.
Bapak dari tiga anak ini pernah mengikuti Pelatihan Investigasi Pelanggaran HAM Berat (2004) dan peserta pra-pelatihan internasional dalam bidang Human Rights, Conflict Transformation and Peace Promotion in Norwegia yang diselenggarakan oleh Dirjen Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM RI bersama dengan Institute of Human Rights, University of Oslo Norwegia, di Bogor (2004). Busyro yang memiliki hobi membaca buku dan olahraga, pada 2008 meraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA).
Busyro terpilih menjadi Ketua KPK setelah melewati serangkaian fit and proper test oleh Komisi III DPR RI pada 25 November 2010. Menggantikan Ketua KPK Antasari Azhar, Busyro dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden RI pada 20 Desember 2010.




Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan KPK :


f)       Peraturan Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi
Yang kini menonjol adalah tiga unsur yaitu (a) memperkaya diri, (b) menyalahgunakan jabatan atau kedudukan (c) merugikan keuangan atau perekonomian Negara .

Pasal 16 menentukan :
a)      Barang siapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam pasal 1 sub a dan b dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/ atau denda setinggi tingginya satu juta rupiah
b)      Segalaa harta bendaa yang diperoleh dari korupsi dirampas
c)      Si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi .

Pasal 17 membuat suatu tindak pidana baru yaitu : barang siapa memberi hadiah atau janji kepada seseorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat dengan mengingat suatu kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau yang oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda setinggi-tinggiya satu juta rupiah .

Demikianlah ditetapkan dalam pasal 5 ayat 3 ditagaskan oleh pasal 7 bahwa : perkara dalam perkara korupsi ini jaksa berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat-surat dan kiriman kiriman yang melalui jawatan pos, telegram, dan telepon, yang dapat disangka mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang disidik atau dituntut .
Dalam study ini pendekatan yang dipakai ialah pendekatan normatif . norma-norma yang ada dalam masyarakat bukan merupakan norma hukum saja, tetapi juga meliputi norma agama, kebiasaan, dan kesusilaan sehingga pendekatan normatif ini pun terlampau luas ruang lingkupnya . kadang-kadang norma norma yang lain itu berjalan seiring dengan norma hukum . tetapi sering pula tidak sejalan .  pendekatan ini disebut pendekatan normatif . pendekatan normatif dalam arti sempit, yaitu pendekatan yang ditujukan kepada norma hukum yang masih mempunyai beberapa jalur .

a)      Jalur Hukum Perdata
Kemungkinan gugatan perdata terhadap para koruptor berupa ganti kerugian kepada Negara sesuai pasal 1365 BW terutama terhadap koruptor yang telah meninggal dunia .  hal ini telah diatur  dalam pasal 32,33, dan 34 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang merupakan perbaikan pengaturan dalam UU PTPK 1971 .
Andaikata pun tidak diatur dalam UU PTPK 1999 tetap saja Negara (antara lain melalaui kejaksaan) untuk menggugat perdata para koruptor .
                              
b)      Jalur Hukum Administrasi 
Dalam keputusan presiden nomor 14 A Thun 1980, yang mengatur tentang tata
Cara rekanan yang dan masalah komisi, diskon, dan sebagainya . hanya saja
Ketentuan dalam Keeputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 ini perlu           
dikaitkan dengan sanksi, kalau perlu dengan sanksi administratif .  sebelum
peraturan ini, sebenarnya telah ada ICW (Inside Comtabiliteits Wet) 23 April
1864 stbl 1864 Nomor 106, stbl 1925, Nomor 445 ditambah dan diubah dengan    LN
1954 Nomor 6, 1955 tentang Pengelolaan Keuangan Negara . begitu pula
dengan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri .

c)       jalur hukum pidana
Jalur ini pun luas ruang lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu tidak
Berupa korupsi material dan keuangan saja, tetapi juga merupakan korupsi
Politik, korupsi ilmu, korupsi sastra, dan seni . di Amerika Serikat korupsi pilotik    itu
justru mendapat perhatian yang besar sekali, terutama karena terjadi
skandal Watergate

di Indonesia korupsi politik seperti ini di ancam dengan hukuman pidana
menurut Undang-Undang tentang Pemiliihan Umum  (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999)
di  Malaysia, korupsi dalam pemilihan umum (pemilihan raya) termasuk      yang
disidik oleh BPR  (Badan Pemberantasan Rasuah)
nyatalah bahwa perumusan ini termasuk dalam pengertiian korupsi politik
seperti yang dimaksudkan di atas . korupsi ilmu sastra, seni pun diancam pidana
tercantum dalam Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undang Nomor 6 Tahun   
1982 yang di ubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987, kemudian oleh
Undang-Undang No. 12 Tahun 1997)
Dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya        diatur tentang korupsi material dan keuangan, ditambah dengan beberapa delik jabatan dan delik lain yang ada kaitanyya dengan penyesuaian perkara korupsi .
Jelaslah bahwa delik yang tercantum dalam UU PTPK itu sebagai ius constitutum dirasakan masih terlalu sempit . masih banyak perbuatan yang dirasakan seharusnya dipidana (ius constituendum) tidak tercakup di dalamnya . secara sosiologis, nepotisme (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintah tanpa memenuhi persyaratan untuk itu) dipandang sangat buruk dan merugikan masyarakat, tetapi tidak termasuk sebagai delik korupsi . Syied Hussein Alatas membagi klasifikasi jenis korupsi Dallam tiga kelompok : (a) paksaan pengeluaran uang, (b) sogokan, (c) nepotisme .
Sekarang telah ada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupai, Kolusi, Nepotisme (LN Nomor 3851), tetapi rumusan deliknya tidak ada sehingga sulit jaksa membuat surat dakwaan . ada sanksi, tetapi tidak ada rumusan delik (definisi delik) . tidak ada definisi delik dalam rumusan . bagaimana membuktikan seseorang telah melakukan nepotisme . memang tidak ada Negara yang membuat rumusan delik tentang nepotisme karena itu lebih berada dalam ruang lingkup sosial . (social issue, not legal issue) .
g)      Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi di Indonesi

-          Strategi Pemberantasan Korupsi                    
bertambah besar volume pembangunan maka semakin besar pula kemungkinan kebocoran . ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menggunakkan kekuasaanya untuk menambah penghasilanya.
Memang terjadi korupsi yang besar-besaran bagi mereka yang telah memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang serakah, tetapi ini bukan hal yang menyeluruh .
Guner Myrdal berpendapat bahwa jalan untuk memberantas korupsi ialah sebagai berikut :

(a)    Menaikkan gaji pegawai rendah (dan menengah)
(b)   Menaikkan moral pegawai tinggi
(c)    Legalisasi pemungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal
Sudah jelas bahwa kalangan elite kekuasaan harus member keteladanan bagi yang dibawah . untuk mencegah korupsi besar-besaran, bagi penjabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan Negara, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus didaftar kekayaannya sebelum menjabat jabatanya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatan yang resmi .
Artinya pegawai negeri atau penjabat yang tidak dapat membuktikan kekayaanya yang tidak seimbang debnga pendapatannyya yang resmi dapat digugat langsung secara perdata oleh penuntu umum berdasarkan perbuatan melanggar hukum . dengan demikian, harus ada sistem pendaftaran kekayaan penjabat sebelum dan sesudah menjabat sehingga dapat dihitung pertambahan kekayaan itu .
Penuntutan pidana hanya mempunyai fungsi sebagai obat yang terakhir  . jelas korupsi tidak akan terberantas hanya dengan penjatuhan pidana yang berat saja, tanpa suatu prevensi yang lebih efektif .
Dengan pidana mati pun seperti di RRC ternyata tidak menghapus korupsi . satu hal yang sering dilipakan kurang diperhatikannya peningkatan kesadaran hukum rakyat . selalu penegak hukum saja yang diancam dengan tindakan keras, tetapi jika rakyatnya senidiri menoleransi korupsi, yang setiap kali memerlukan layanan selalau menyediakan amplop, dan setiap kena perkara langsung mencari siapa penyidik, penuntut, atau hakimnya untuk disogok, lingkaran setan korupsi tidak akan terberantas .

Di Negara Negara Afrika Bagian Selatan dirumuskan strsategi pemberantasan korupsi berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan), sedangkan pada kedua sisinya masing masing pendidikan masyarakat (public education) dan pemidanaan (punishment)
Dalam memberantas korupsi harus dicari penyebabnya terlebih dahulu, kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan tindakan represif (pemidanaa) . 



-          Kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi harus didukung seluruh warga
Kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi yang sangat serius merupakan bagian dari upaya dalam merealisasikan good governance dan clean government yaitu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Program itu harus didukung dan dijabarkan oleh seluruh warga Departemen Pertahanan sesuai fungsi, tugas dan kewenangan masing-masing.


Seluruh warga, khususnya para pejabat untuk bekerja lebih keras dan lebih cermat sesuai aturan yang telah ditetapkan serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Lebih lanjut, ketidakcermatan dalam melaksanakan tugas bukan saja akan mengganggu tertibnya tatanan dan orientasi organisasi serta menghambat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Tetapi hal itu juga dapat merusak moral, sikap dan disiplin yang sekaligus merusak citra lembaga
Untuk itu, hal yang perlu ditekankan disini untuk dipedomani dan dilaksanakan, antara lain : pertama, melaksanakan tugas sesuai fungsi, kewenangan serta aturan-aturan yang telah digariskan. Kedua, sinergi, disiplin, dan motivasi untuk memberikan yang terbaik. Ketiga, jangan mudah tergoda mengambil jalan pintas yang dapat mengarah pada hal-hal yang berpotensi merugikan, baik secara perorangan maupun kelembagaan.


-          Upaya pemberantasan korupsi seiring kemajuan teknologi dan komunikasi
Dalam pemberantasan korupsi terkandung makna penindakan dan pencegahan korupsi, serta ruang untuk peran serta masyarakat yang seharusnya dapat lebih ditingkatkan dengan adanya perbaikan akses masyarakat terhadap informasi. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pelayanan publik sebagai salah satu cara melakukan pencegahan korupsi. Sedangkan di sisi penindakan, (tanpa bermaksud mengesampingkan pro kontra yang terjadi) undang-undang memberi ruang bagi para penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mendapatkan dan menggunakan informasi elektronik guna memperkuat pembuktian kasus korupsi. Saat ini kita tengah menanti kehadiran Peraturan Pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut intersepsi dalam rangka penegakan hukum, sesuai amanah undang-undang.
Dari survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008, didapati bahwa belum terlalu banyak orang yang tahu bahwa tugas dan wewenang yang diamanahkan kepada KPK bukan hanya tugas yang terkait dengan penanganan kasus korupsi dan penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, karena sekalipun telah banyak yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan pencegahan korupsi dan dalam mengkaji sistem administrasi lembaga negara/pemerintah yang berpotensi korupsi, kegiatan-kegiatan itu menurut kalangan pers kalah nilai jualnya jika dibandingkan dengan liputan atas penindakan korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,   monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Karenanya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi yaitu ‘mencegah’, ‘memberantas’ dalam arti menindak pelaku korupsi, dan ‘peran serta masyarakat’.
Kemajuan teknologi informasi sudah banyak membantu KPK dalam melakukan tugas-tugasnya. Dari mulai gedung KPK yang dirancang sebagai smart building, paper-less information system yang diberlakukan sebagai mekanisme komunikasi internal di KPK, dan program-program kampanye serta pendidikan antikorupsi KPK. Dalam meningkatkan peran serta masyarakat, informasi elektronik sangat dibutuhkan agar informasi yang disampaikan dapat lebih cepat diterima, lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya. KPK juga telah mengadakan berbagai lomba bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat yang antara lain berupa lomba PSA antikorupsi, lomba film pendek antikorupsi, lomba poster, dan lomba-lomba lainnya. 
-          Penggunaaan teknologi informasi dalam memperkuat pembuktian kasus korupsi
Penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi kewenangan melakukan penyadapan. Dan tidak seperti yang dipersepsikan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa sekehendak hatinya menggunakan instrumen yang sensitif ini.
Bagi KPK, penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada surat tugas yang ditandatangani Pimpinan KPK yang menganut kepemimpinan kolektif di antara lima komisionernya. Sedangkan keputusan untuk melakukan penyadapan didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat alat bukti dalam kegiatan penyelidikan. Penyelidikan itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan keterangan dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan bukti adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk melakukannya bukanlah keputusan yang mudah.
Dalam melakukan penyadapan sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 serta pasal 12 butir a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Karena itu KPK tidak menganggap lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai ancaman, karena penyadapan yang selama ini dilakukan merupakan lawfull interception, sesuai aturan yang ada dan dilakukan dengan tanggung jawab, profesionalisme, dan kehati-hatian ekstra.


KPK tidak pernah menyebarluaskan hasil sadapan, kecuali sebagai pembuktian di sidang pengadilan, yang diperdengarkan atas perintah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kesimpangsiuran informasi terjadi, ketika salah satu stasiun televisi swasta menayangkan program yang memuat upaya penindakan KPK lengkap dengan pemutaran rekaman hasil penyadapan yang dilakukan KPK.
Terkait dengan banyaknya tayangan dalam program tersebut yang menampilkan para terperiksa, terdakwa, dan terpidana kasus-kasus yang ditangani KPK,
ada sebagian masyarakat yang menduga ada andil KPK di dalamnya. Sebagai catatan, gambar-gambar dan rekaman yang ditampilkan tersebut diambil dari ruang persidangan atau di halaman dan lobby tamu KPK yang merupakan ruang publik. Parahnya lagi bukan hanya masyarakat awam hukum yang berpendapat demikian. Dalam satu kesempatan talk show di salah satu universitas di Yogyakarta medio September 2008 ini, seorang doktor hukumpun menyatakan bahwa KPK telah melanggar hak asasi manusia para terdakwa kasus tindak pidana korupsi karena memperdengarkan secara terus-menerus rekaman pembicaraan dengan tujuan sebagai hukuman asesoris yang diberikan untuk mempermalukan mereka. 
Selama ini, KPK berusaha melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh undang-undang dengan semaksimal mungkin memanfaatkan kewenangan yang ada. Karena itu Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik akan kami cermati sebagai salah satu aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang tentang KPK disebutkan bahwa : “……..Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa”.
Kalimat di atas bisa jadi merupakan salah satu alasan undang-undang ini mengatur kembali pemberian kewenangan penyadapan kepada KPK, sekalipun kewenangan yang sama telah diberikan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang dimungkinkannya alat bukti petunjuk berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dari keinginan rakyat yang diterjemahkan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, seharusnya membawa implikasi pada penanganan korupsi dengan cara-cara yang luar biasa pula – sekalipun tetap dalam koridor aturan hukum yang berlaku. Terkait dengan kontroversi penyadapan dalam penindakan korupsi kita dapat mengambil penyadapan atas kasus terorisme sebagai pembanding.
POLRI telah lama melakukan penyadapan untuk kasus terorisme dan tidak pernah ada yang mempermasalahkannya. Besar kemungkinan karena kita sudah memahami bahaya terorisme.
Hal ini menjadi tantangan bagi KPK untuk lebih giat menyampaikan betapa seriusnya implikasi dari korupsi ini. Betapa besar ongkos sosial korupsi yang harus dibayar seluruh rakyat Indonesia.
Ketika seorang Penyelenggara Negara menerima suap, uang suap itu masih bisa berperan dalam memutar roda perekonomian negara, sebagian bisa digunakan untuk membantu orang lain, atau bahkan disumbangkan ke lembaga keagamaan.
 Namun yang selama ini kurang kita sadari - kerusakan sudah terjadi, ketika seseorang dibiarkan melanggar aturan yang ditetapkan dengan tujuan-tujuan tertentu - karena dia telah menyuap, entah itu membabat hutan, memasukkan barang ilegal, menjual obat palsu, atau ribuan jenis lain pelanggaran yang pada akhirnya akan bermuara pada kesengsaraan rakyat Indonesia.
Mengingat itu semua, masih bisakah kita dengan percaya diri mengatakan bahwa bukan perilaku koruptif kitalah yang menyebabkan rakyat di bumi yang kaya raya ini harus berdiri berjam-jam sekedar untuk mendapatkan sembako atau uang sekedarnya? Alangkah tidak sepadan jika boleh kita membandingkan antara uang suap yang berpindah tangan itu dengan ongkos dan azab yang harus ditanggung (oleh orang lain, saudara kita sendiri).
Sebagai penutup, Undang-Undang ITE mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Para penegak hukum termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil tentu saja berkepentingan dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Karenanya keterlibatan mereka dalam penyusunan Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin profesionalisme, tanggung jawab, dan asas keadilan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil intersepsi.
-          Kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi belum maksimal
Kinerja pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.
Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri. Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs Polri, terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM .
selain adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.
Ditambahkan oleh Eddy O.S. Hiariej, staf pengajar FH UGM yang juga anggota Pukat, bahwa dari keseluruhan hal tersebut seolah-olah menjadi antitesis terkait dengan keseriusan pemerintah dalam mendukung gerakan anti korupsi. Jargon-jargon yang selama ini diserukan tampaknya masih jauh dari implementasi .



-          Menimbang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi
Di negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sulit untuk diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, menjadikan penyebaran korupsi semakin meluas dan sistemik. Korupsi yang meluas dengan gampang dapat kita jumpai pada hampir seluruh kantor pelayanan publik. Korupsi menjadi bagian dari sistem pengelolaan negara. Celakanya, korupsi kerap melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Ketua DPR misalnya, adalah seorang terpidana yang entah mengapa tidak perlu mendekam di penjara seperti terpidana lainnya. Bisa jadi, Akbar Tanjung si terpidana itu bisa menyeret pejabat lainnya ke penjara kalau dirinya harus menginap di hotel prodeo.
Dari sisi hukum, aparat penegak hukum juga tampak letoi ketika berhadapan dengan korupsi. Kalau menghadapi teroris macam Amrozi, Imam Samudera, dan lain sebagainya, dengan sigap polisi bertindak. Kejaksaan pun, dengan proses yang sangat cepat, mampu menyeret para terdakwa ke hadapan hakim di persidangan. Tetapi, sama seperti politisi, ketika menangani kasus korupsi ada banyak alasan sehingga berkas perkara mesti bolak-balik dikembalikan ke polisi, bukti tidak mendukung, atau keluar SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kalau tidak dituntut bebas.
Macetnya hukum dalam penanganan kasus korupsi bisa dimengerti dengan melihat korupsi sebagai fenomena sosiologis. Dalam kaca mata sosiologis, korupsi melibatkan jaringan elit kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Karena itu, bercokolnya Ketua DPR dari jerat hukum bisa dibaca sebagai upaya melindungi elit lain. Juga mengapa Jaksa Agung yang jelas-jelas dilaporkan ke polisi oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN)
karena laporan palsu masih duduk di kursinya. Oleh sebab itu, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Untuk memberantasnya, dibutuhkan pendekatan hukum yang luar biasa pula.
KPK, Komisi Super?
Salah satu produk hukum yang digulirkan untuk memberantas korupsi adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK. Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2001. UU Anti Korupsi itu merupakan amandemen dari UU No.3 Tahun 1971 tentang Anti Korupsi yang dianggap sudah tidak memadai lagi.
Karena korupsi adalah extra ordinary crime, maka ada beberapa kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh KPK. Diantaranya, pertama dipergunakannya alat bukti elektronik dalam pembuktian. Alat bukti elektronik meliputi e-mail, rekaman suara, rekaman video dan sebagainya. Bandingkan dengan KUHAP yang hanya mengakui kesaksian langsung dari seseorang.
Kedua, KPK memiliki kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Bahkan KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani oleh kejaksaan atau kepolisian. Sebagai kejahatan yang luar biasa, korupsi memang tidak bisa ditangani oleh aparatus negara konvensional seperti kejaksaan dan kepolisian. Apalagi dalam kurun waktu yang lama terbukti dua institusi penegak hukum itu gagal memberantas korupsi.
Ketiga, berbeda dengan kejahatan lain, persidangan kasus korupsi juga dilakukan dengan cara di luar kelaziman. Kelak kalau KPK telah berfungsi, koruptor akan diadili dalam Pengadilan Korupsi. Hakim yang mengadili, baik di tingkat pertama (Pengadilan Negeri), banding (Pengadilan Tinggi) maupun kasasi (MA) terdiri dari lima orang, dua hakim reguler sedangkan tiga sisanya adalah hakim ad hoc.
Keempat, KPK tidak hanya bertugas pada ranah penegakan hukum. KPK juga melakukan tugas pencegahan, seperti memeriksa laporan kekayaan pejabat negara. Dengan berfungsinya KPK, maka KPKPN akan dibubarkan dan akan menjadi salah satu divisi dalam KPK. Dengan demikian, kasus laporan palsu kekayaan Jaksa Agung tidak akan terulang lagi karena berbeda dengan KPKPN, KPK bisa langsung menyidik dan menyeret Jaksa Agung ke Pengadilan Korupsi.
Karena begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh KPK, banyak pihak berharap KPK akan menjadi obat ampuh untuk menyembuhkan negeri ini dari korupsi. Apalagi anggota KPK hanya lima orang sehingga bisa mengurangi benturan kepentingan.

Berdasarkan pengalaman Komnas HAM dan KPKN, jumlah anggota yang besar menjadikan kedua komisi itu tidak bisa lincah dalam mengambil keputusan. Belum lagi komposisi anggota yang berwarna-warni latar belakangnya, menjadikan gerakan kedua komisi semakin lamban karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi.
Akan tetapi, kekuasaan besar KPK juga tidak lepas dari ancaman dari para koruptor dan elit politik yang tidak berkepentingan. Sejak awal sebetulnya proses pembentukan komisi super ini kerap tersendat-sendat.
Proses pembentukan KPK sendiri harus melalui berbagai tahapan yang cukup panjang. Pertama diawali dengan pembentukan tim seleksi. Anggota Tim Seleksi dipilih oleh Menteri Kehakiman dan HAM dan ditetapkan oleh Presiden dengan Keppres. Selanjutnya Tim Seleksi yang akan memilik kandidat anggota KPK sebanyak 10 orang atau dua kali jabatan yang tersedia.
Tugas memilih siapa anggota komisi yang akan menjadi musuh koruptor nomor satu adalah DPR. Tim Seleksi akan memberikan 10 nama ke DPR yang akan memilih lima diantaranya sebagai anggota KPK. Lalu anggota KPK akan diangkat oleh Presiden.
Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk KPK sekitar 185 hari atau 6 bulan 5 hari. Perkiraan ini adalah perkiraan optimis, artinya proses pembentukan berjalan lancar dan tidak ada kejadian penting di luar perkiraan yang bisa menggagalkan proses tersebut. Tenggat waktu yang diberikan oleh UU No.30 Tahun 2002 adalah satu tahun. UU No. 30 disahkan tanggal 27 Desember 2002 sehingga KPK harus sudah terbentuk 27 Desember 2003.



                                                                                                                                                              III.            PENUTUP

a)      Kesimpulan

Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat .
korupsi membawa banyak sekali pengaruh negatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat, antara lain dampaknya terhadap demokrasi, terhadap perekonomian negara, dan tentu saja terhadap kesejahteraan umum negri ini . banyak sekali contoh-contoh kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia . korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada.

Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah. Setiap tindak pidana korupsi baik dalam bentuk penyogok atau sebagai penerima sogok akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang tindak pidana korupsi . 

Sejauh ini pemerintah terus melakukan upaya dalam memberantas korupsi . salah satunya adalah dengan membentuk lembaga pemberantasan korupsi yang saat ini dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .  selain itu pemerintah juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat dalam membantu upaya pemberantasan korupsi di negri

ini . namun hal ini tidak akan sempurna tanpa adanya dukungan dari komponen utama dan terbesar yaitu masyarakat umum .
Untuk itu sebenarnya usaha yang paling efektif untuk memerngi korupsi di Indonesia adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat umum . Selain itu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) akan meminimalisir trejadinya tindak pidana korupsi .
Hukum yang tegas juga diperlukan untuk menjerat para ”tikus berdasi “ini  yang mencuri hak rakyat .
Kombinasi antara semua aspek yang telah disebutkan di atas adalah upaya sempurna dalam memerangi masalah korupsi di indonesia .



Daftar Pustaka

Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada
Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja Grafindo Pesada
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008.










3 komentar:

  1. hay, nama saya try, salam kenal,.
    trimakasih sudah berbagi ilmu,.. artikelnya sangat bermanfaat..
    kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah. Saya juga punya pembahasan mengenai politik., kalau berminat silahkan lihat Makalah Politik Pendidikan . siapa tahu bisa bermanfaat.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. keren kakak,
    jangan lupa berkunjung juga ya :
    https://diyusjay.blogspot.co.id/2017/10/maju-diam-atau-mundur.html
    sebagai referensi untuk makalah juga

    BalasHapus